Saturday, August 11, 2012


Greenpeace: Sebuah Upaya Melampaui Kosmopolitanisme Politik


" Satu-satunya yang pantas menjadi global adalah perlawanan,..”
(Arundhati Roy)

 “Akan tiba suatu masa, dimana ikan-ikan mati di dalam air, burung-burung jatuh dari udara, air menghitam, dan pohon-pohon tidak lagi ada. Umat manusia yang tersisa nyaris binasa. Lalu akan ada suatu masa, saat para pemelihara legenda, sejarah, ritual budaya, dan mitos serta kebiasaan suku-suku purba diperlukan untuk memulihkannya. Mereka itulah yang akan menjadi penentu kelangsungan hidup umat manusia. Mereka adalah Para Ksatria Pelangi (Rainbow Warriors)."
                                    (Ramalan tua suku Indian Cree)

***
Prolog
Saat berdiri pada tahun 1971, Greenpeace tak lebih dari sekelompok acak pemuda yang menentang uji coba nuklir yang diadakan di Amchitka, laut lepas Alaska. Aksi mereka saat itu memang gagal karena uji coba nuklir tetap berlansung. Ketika posisi mereka masih sangat jauh dari lokasi uji coba, sekitar 1.100 km, Badan Tenaga Atom Amerika (AEC) mengeluarkan perintah untuk melepaskan bom nukir, pada tanggal 6 November 1971.
Namun, aksi mereka telah memicu gelombang protes di Amerika dan Kanada.  Ribuan orang turun ke jalan mendukung aksi Greenpeace menolak uji coba senjata nuklir.  Akhirnya pemerintah Amerika mengumumkan tidak akan melakukan uji coba senjata nuklir di perairan alaska ‘karena alasan politis dan alasan lainnya’.[1]
Melihat kesamaan visi tentang penyelamatan bumi dan kehidupan manusia, sekolompok pemuda tadi pun memutuskan untuk meneruskan Greenpeace sebagai organisasi yang bergerak dalam isu-isu lingkungan.
Sejak didirikan, telah banyak sepak terjangnya dalam memperjuangkan lingkungan agar menjadi lebih baik. Para aktifisnya selalu menggunakan cara-cara yang inovatif dalam menarik perhatian publik.  Lihat saja bagaimana mereka menggergaji pintu kantor Perdana Menteri Inggris, walau hanya sekian detik, untuk menyampaikan seruan perlunya melindungi kayu dari hutan-hutan tropi.
Pelan tapi pasti ide-ide mereka menyebar ke seluruh dunia. Saat ini Greenpeace telah tersebar di 44 negara (data 2007). Atas sepak terjang Greenpeace ini berbagai tafsir dan konseptualisasi diajukan. [2]

Mendelegitimasi Pencerahan
Modernitas yang ditandai dengan pencapaian subyektivitas menempatkan manusia berdiri sejajar di atas permukaan bumi atau kosmos. Sebuah kosmos, sejak Yunani Kuno, berarti keseluruhan tatanan yang diatur dengan prinsip-prinsip dan hukum-hukum tertentu. Kant mengapresiasi pengertian kosmos ini dalam konteks etis maupun politis: kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme berarti kepemilikan bersama atas permukaan bumi berdasarkan prinsip-prinsip imperatif universal. Konsep Immanuel Kant mengenai kosmopolitanisme menjadi titik tolak Habermas dan Derrida dalam rangka kritiknya terhadap institusi maupun konstitusi politik warisan Pencerahan yang dianggap oleh keduanya gagal menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia. Rangkaian tragedi kemanusiaan yang mewarnai abad XX seperti dua Perang Dunia, Nazisme, Stalinisme, dan Rasisme mendesak kita menggagas ulang makna konsep-konsep yang lahir dari rahim Pencerahan. Elemen traumatis yang ditinggalkan oleh semua tragedi kemanusiaan abad ini, terutama peristiwa teror, adalah akibat negatif atau krisis Pencerahan yang sudah klasik dan tak lagi memadai.
Derrida dan Habermas bergerak dalam lintasan wacana Pencerahan tentang toleransi, keadilan, dan tanggung jawab, lalu mencoba menempatkan kembali wacana ini dalam konteks demokrasi radikal, yaitu suatu politik universal melampaui kosmopolitanisme sebagaimana yang pernah ditegaskan oleh Kant. Derrida dan Habermas sepakat bahwa toleransi memiliki asal-usul keagamaan yang kemudian diapresiasi oleh politik sekuler sehingga tak heran bila toleransi sering dipraktikkan dalam semangat paternalistik, bahkan berat sebelah. Toleransi diandaikan berlangsung dalam payung otoritas politik yang dominan atas yang lain, minoritas.
Dalam pandangan Habermas, pola toleransi yang berat sebelah dapat dinetralkan jika toleransi dipraktikkan dalam konteks sebuah sistem politik yang partisipatoris sebagaimana disediakan oleh demokrasi deliberatif. Toleransi mengandaikan sikap warga negara terhadap yang lainnya berdasarkan hak dan kewajiban yang sama sehingga tidak ada ruang bagi otoritas tertentu yang diperbolehkan secara sepihak menentukan batas-batas, apa yang dapat ditoleransi dan apa yang tidak. Sebagai konsekuensinya, keadilan dan tanggung jawab niscaya diletakkan dalam konteks yang sama.
Habermas menekankan pentingnya toleransi dan konsensus rasional dalam masyarakat demokratis atau global. Toleransi harus dipandang secara positif baik etis maupun politis. Ia dipandang secara etis karena mengandaikan kebenaran dari yang lain. Ia dipandang secara politis karena mampu membentuk konsensus rasional. Pemihakan ini adalah turunan dari gagasan Habermas mengenai demokrasi konstitusional sebagai satu-satunya sistem yang dapat mengakomodasi komunikasi bebas dominasi dalam rangka pembentukan konsensus rasional.
Argumentasi ini bertolak dari kekeliruan dalam mendasarkan identitas suatu negara-bangsa pada tradisi hukum klasik. Satu-satunya artikulasi yang sah tentang identitas suatu bangsa, dengan atau tanpa masa lalu, ialah patriotisme konstitusional di mana kesetiaan pada konstitusi merupakan bentuk partisipasi seluruh warga negara berdasarkan konsensus. Kesetiaan pada konstitusi ini mengungkapkan pula loyalitas kepada hak- hak keadilan dan tanggung jawab universal, terutama dalam masyarakat yang kompleks dan multikultural.
Sebaliknya, Derrida menganggap toleransi masih mengandung kekuasaan dalam arti tertentu terhadap yang lain. Karena toleransi masih mensyaratkan kesesuaian dengan hukum- hukum yang berlaku dalam teritori tertentu, dalam arti ini toleransi merupakan metafor mengenai kekuasaan atas yang lain. Derrida melawankan konsep toleransi dengan kesanggrahan (hospitality), sebuah terminologi yang bertolak dari Kant, tetapi berbeda dari pemahaman Kant yang masih menempatkan kesanggrahan sebagai tuntutan imperatif moral. Melalui kesanggrahan, Derrida memperkenalkan pendekatan baru dalam etika dan politik, yaitu kewajiban unik seseorang terhadap yang lain berupa kemurahan hati dan membuka diri dalam pembentukan konsensus yang berlangsung secara terus-menerus tanpa akhir. Melalui kesanggrahan ini keunikan dan perbedaan masing-masing dapat dihargai. Ia membagi kesanggrahan ini dalam dua pola.
Pertama, toleransi bersyarat yaitu hak invitasi. Sebagai hak invitasi, kesanggrahan menjadi syarat bagi kemungkinan konvensi-konvensi internasional. Toleransi bersyarat inilah yang mendominasi sistem hukum klasik. Kedua, toleransi tak bersyarat yaitu hak visitasi. Sebagai hak visitasi, kesanggrahan memungkinkan teritori dalam risiko maksimal sebab ia tidak memiliki pertahanan sistematis dalam dirinya, kesanggrahan tidak memiliki status khusus secara politis maupun hukum. Dari sudut pandang kesanggrahan tak bersyarat atau hak visitasi ini dapat diperoleh suatu perspektif kritis atas batas-batas hak kosmopolitan dalam pengertian Kant. Hak kosmopolitan ini mensyaratkan seluruh tindakan harus sesuai dengan hukum yang berlaku hingga dalam arti tertentu sangat totaliter.
Kosmopolitanisme ala Kant yang masih mengandaikan kesesuaian tindakan dengan hukum inilah yang hendak dihindari oleh Derrida dengan mengajukan pengertian baru pada konsep tentang keadilan sebagai sesuatu yang melampaui hukum. Sebab kalau tidak, keadilan akan tereduksikan hanya kepada dapat dilaksanakannya hukum (positivisme). Sebagai produk sosial dan politik, hukum bersifat terbatas, relatif, dan tidak pernah imun dari hukum sejarah. Keadilan selalu berada di luar dan di dalam hukum sekaligus, demikian Derrida. Keadilan berada di batas tegangan antara keduanya. Asumsi ini sekaligus menegaskan perbedaan antara hukum dan keadilan; hukum bersifat universal, sementara keadilan bersifat khusus.
Jika wilayah hukum mengandaikan ciri-ciri umum yang terkandung dalam aturan, norma, dan hal ihwal yang imperatif universal sehingga sering jatuh pada totalitarianisme dalam praktiknya; sebaliknya, keadilan menyangkut individu, keunikan hidup, dan situasi khas manusia. Hukum selalu beroperasi di dalam domain kepastian, dapat dikalkulasi dan diprediksi. Sementara itu, keadilan memperhitungkan apa yang tidak mungkin dikalkulasi dan memutuskan apa yang tidak mungkin dapat diputuskan. Dengan kata lain, keadilan mengandaikan pengalaman aporia dan khas dari seseorang. Keadilan tidak semata- mata mengacu pada hukum, tetapi juga melampaui hukum. Keadilan selalu berada dalam lingkaran negosiasi sosial dan pertimbangan politis terus-menerus sampai menjumpai batas-batasnya sendiri.

Globalisasi dan otoimun
Berbeda dengan Habermas yang percaya globalisasi merupakan keniscayaan sejarah, Derrida menampik gagasan tersebut karena globalisasi tak pernah mengambil tempat di dalam sejarah. Globalisasi tak pernah terjadi, yang terjadi adalah mondialisasi seluruh tatanan masyarakat dunia. Globalisasi tak lebih sebagai kelicikan retoris yang bertujuan menyembunyikan ketidakadilan. Globalisasi hanya merayakan kepentingan kelompok-kelompok tertentu dengan memanfaatkan kemajuan tekno-sains.
Globalisasi hanya merupakan delusi, suatu alat tipu daya untuk menyembunyikan ketidakseimbangan yang muncul, suatu kegelapan baru, suatu kesembronoan komunikasi lewat media, suatu penguasaan menyeluruh sarana produksi, teknologi, dan militer oleh segelintir negara atau korporasi internasional untuk mereka kangkangi sendiri. Dengan demikian, globalisasi telah menunjukkan kekuatan imunitas maupun otoimunitasnya sendiri.
Otoimunitas merupakan kata kunci gagasan Derrida untuk memahami sepak terjang Greenpeace sebagai konsekuensi dari globalisasi atau mondialisasi. Otoimunitas adalah sebuah kondisi otoimunisasi yang selanjutnya menghancurkan proteksinya sendiri. Dilihat dari konteks lahirnya Greenpeace, otoimunitas ini dapat dilihat melalui beberapa momentum peristiwa
Yaitu globalisasi atau mondialisasi telah menciptakan penderitaan yang belum pernah ada presedennya dalam sejarah: kerusakan lingkungan. Cerita globalisasi ekonomi bermula dari krisis ekonomi di awal 1970-an. Seperti yang diperkirakan, Fordisme dan kebijakan Keynesian melewati masa emasnya, berubah menjadi inflasi, penumpukan produksi, pengangguran dan menurunnya investasi di negara-negara berkembang
Di saat bersamaan, kubu konservatif melalui Thatcher di Inggris dan Reagan di Amerika berhasil menguasai pemerintah. Menjawab krisis yang sedang menganga, keduanya mengampanyekan bringing the market back in. Fordisme digantikan sistem produksi (yang kemudian disebut) Post-Fordisme yang lebih menekankan fleksibilitas, economies of scope, sistematisasi produksi dan sistem kerja self-employment. Kebijakan Keynesian disingkirkan oleh model ekonomi neo-liberal yang anti-intervensi negara, proderegulasi dan menghendaki perdagangan bebas. Selanjutnya, Post-Fordisme dan ekonomi neo-liberal dibakukan dalam "Washington Consensus" yang tak lain dari panduan mengembangkan self-regulating market bagi seluruh negara di dunia. Panduan ini berisi kebijakan-kebijakan semacam   menjamin disiplin fiskal, mengurangi belanja publik, reformasi pajak, liberalisasi finansial, mendorong nilai tukar yang kompetitif, liberalisasi perdagangan, melancarkan investasi asing, privatisasi perusahaannegara, deregulasi ekonomi, dan perlindungan terhadap  property rights.
Kebijakan-kebijakan neo-liberal pada awalnya menyebar ke Eropa Barat dan Jepang. Lalu, IMF dan World Bank  mengekspor "Washington Consensus" ke negara-negara   berkembang, melalui structural adjustment program.
Globalisasi ekonomi kemudian tanpa bisa dibendung  menjelma menjadi ekspansi pasar bebas ke seluruh dunia  dan aspek kehidupan, melalui pendalaman kapitalisasi dan komodifikasi di sektor perdagangan, produksi, dan finansial
“Kemajuan” yang lahir akibat globalisasi harus dibayar mahal. Setelah berabad-abad diabaikan, lingkungan hidup (alam raya ini) baru disadari memiliki kapasitas terbatas dalam memuaskan kebutuhan ummat manusia, sementara pemuasan kebutuhan tersebut hampir semuanya melibatkan konversi lingkungan hidup.
Kebutuhan akan pangan, misalnya, terkait dengan penyediaan akan lahan yang dari waktu ke waktu terus bertambah. Kebutuhan akan perumahan mau tidak mau terkait dengan persoalan penebangan kayu. Kebutuhan akan transportasi mengharuskan digenjotnya kegiatan-kegiatan pertambangan, baik pertambangan bahan-bahan bakar maupun logam pembuatan kendaraan.
Diketahuinya batas kemampuan (carrying capacity) ini, mau tidak mau, membuka lanskap politik baru. Potensi ketegangan politik segera muncul di depan mata manakala pola pemuasan kebutuhan yang telah terlembaga¾misalnya melalui industrialisasi dan konsumsi massal (mass consumption)¾berada dalam ancaman.
Negara-negara industri, yang tadinya didudukkan sebagai idola karena mampu menyediakan sistem pensejahteraan manusia, tiba-tiba berubah status menjadi “tersangka” karena telah memimpin proses global yang mengkandaskan umat manusia dalam jebakan krisis lingkungan. Masyarakat negara-negara industri maju yang jumlahnya hanya mencapai sekitar 25 persen penduduk bumi, mengkonsumsi sekitar 75 supply energi global. 25 persen supply energi yang ada harus dikonsumsi secara hemat oleh 75 persen sisa penduduk bumi ini.
Kondisi ini diperburuk dengan buruknya komitmen negara maju pada perbaikan atas krisis lingkungan yang diakibatkan oleh sepak terjang mereka. Padahal jika ada satu atau beberapa fihak yang tidak bersedia bekerja sama, hal ini sama saja membawa keseluruhan entitas yang ada tenggelam dalam krisis. Kalau bumi ini kita ibaratkan sebagai sebuah kapal, lobang di dasar kapal yang terjadi akibat kecerobohan satu atau beberapa penumpangnya akan menenggelamkan seluruh kapal tersebut.
   Pada titik ini, Greenpeace muncul sebagai “institutionalisme” solidaritas masyarakat global yang bergerak untuk menekan pihak-pihak yang tidak memilki komitmen tersebut serta menghentikan kejahatan lingkungan yang telah dilakukan mereka. Mereka bergerak ke mana saja tempat terjadi krisis lingkungan.
   Sebagai contoh untuk kasus di Indonesia misalnya, Greenpeace Indonesia sendiri konsen di dua isu utama, masalah hutan dan climate & energy. Untuk melindungi hutan di Indonesia, Greenpeace sudah memulainya sejak 2004 yang lalu. Waktu itu Greenpeace menentang ilegal logging yang marak terjadi di hutan Kalimantan.
Metode gerakan Greenpeace selama ini dilakukan dengan cara protes terhadap segala hal yang merusak lingkungan, mendukung program hijau pemerintah, serta urun rembuk dalam problem solving yang harus dipilih oleh pemerintah setempat.
Salah satu solusi yang ditawarkan Greenpeace terhadap pemerintah Indonesia adalah penanaman kembali hutan yang rusak dan melakukan moratorium (penghentian sementara penebangan pohon). Saat itu solusi yang ditawarkan Greenpeace berkaitan dengan perusakan hutan Indonesia yang seakan tidak bisa dihentikan.
Greenpeace mencatat bahwa setiap jamnya hutan Indonesia seluas 30 kali luas lapangan bola rusak. Indonesia sendiri adalah negara dengan pengrusakan hutan tercepat dari 44 negara yang memiliki hutan.
Untuk isu climate & energy, Greenpeace menolak dengan keras rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Jepara dan juga di Sampang, Madura. Pasalnya, mereka beranggapan bahwa nuklir sangat berbahaya bagi bumi dan kehidupan manusia. Ia memiliki radioaktif yang sangat berbahaya bagi makhluk hidup karena bisa menyerang saraf. Apalagi radiasinya akan terus bertahan hingga 241,000 tahun!
Saat pertemuan PBB tentang global warming di Bali, Greenpeace adalah salah satu kelompok yang paling aktif dan atraktif dalam mengawal berjalannya konferensi. Mereka membuat penghargaan kategori negara paling tidak ramah lingkungan, paling parah pengrusakan hutannya, dll. Saat itu kapal hijau mereka juga menjadi kapal yang tidak diperbolehkan berlabuh di Bali. Sehingga untuk mencapai Bali, para aktivis Greenpeace harus menyewa perahu-perahu penduduk setempat.
Pada akhirnya ketika kerusakan lingkungan bukannya berhenti tapi malah semakin parah maka sama saja memberikan bahan bakar terhadap gerakan Greenpeace. Dan gerakan ini, akan semakin meluas ke mana-mana.

Menuju demokrasi radikal
Di hari-hari ini wacana demokrasi Barat, yang benih-benihnya telah disemaikan sejak Liberalisme klasik, terbukti telah gagal mengakomodasi masyarakat yang kompleks. Dalam masyarakat kompleks dewasa ini dibutuhkan satu demokrasi radikal dengan merevisi kosmopolitanisme Kant, bahkan melampauinya. Habermas memodifikasi konsep Kant tentang ruang publik secara substansial. Immanuel Kant masih menganggap komunikasi terjadi dalam ruang publik soliter, sementara Habermas menekankan komunikasi dalam ruang publik secara keseluruhan. Komunikasi tidak bisa dijamin berlangsung dalam ruang publik soliter ala Kant karena praksis kehidupan sehari- hari kita bertumpu pada suatu dasar yang kukuh, yaitu kenyataan bahwa kita memiliki latar keyakinan, kebenaran, budaya, dan harapan yang saling mengandaikan.
Alih-alih mengafirmasi kosmopolitanisme Kant, Derrida meletakkan cita-cita demokrasi di luar kosmopolitanisme atau kewarganegaraan dunia, melampaui kekuasaan tertinggi politik, ekonomi, dan hukum. Derrida mengajukan suatu demokrasi radikal, yaitu demokrasi mendatang: sebuah demokrasi yang belum eksis saat ini, tidak dapat dipresentasikan, bukan ide regulatif dalam pengertian Kant. Namun, demokrasi ini menyambut baik kemungkinan untuk digugat, untuk menggugat diri sendiri, mengkritik dan ikhtiar untuk terus-menerus memperbaiki diri.
Demokrasi Barat dalam arti ini merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus sampai pada batas-batasnya sendiri. Derrida dan Habermas telah meretas jalan dengan mengevaluasi secara menyeluruh prinsip-prinsip yang mendasari Pencerahan Barat. Keduanya bertolak dari ikhtiar untuk menyegarkan kembali kosmopolitanisme Kant.
Habermas melihat Pencerahan sebagai masa lalu yang harus direkonstruksi pada konteks hari ini, sementara Derrida secara radikal mendesak Pencerahan menuju perbatasannya, suatu keterarahan kepada masa depan melalui manifestasinya yang terkini. Pencerahan itu ada di masa depan, tetapi tidak dapat diprediksi dan diidentifikasi. Ia merupakan proses yang tak pernah sudah.





Epilog
Akan tiba suatu masa, dimana ikan-ikan mati di dalam air,, burung-burung jatuh dari udara, air menghitam, dan pohon-pohon tidak lagi ada. Umat manusia yang tersisa nyaris binasa. Lalu akan ada suatu masa, saat para pemelihara legenda, sejarah, ritual budaya, dan mitos serta kebiasaan suku-suku purba diperlukan untuk memulihkannya. Mereka itulah yang akan menjadi penentu kelangsungan hidup umat manusia. Mereka adalah Para Ksatria Pelangi (Rainbow Warriors)."
 Para Ksatria Pelangi akan menunjukkan betapa sakitnya Bumi karena manusia di dunia telah mengabaikan Sang Mahakuasa (Great Spirit). Mereka akan mengajarkan bagaimana hidup sesuai panduan Sang Mahakuasa. Mereka akan menyebarkan pesan kedamaian dan mengajarkan semua orang tentang Elohi atau Bumi. Akan tiba hari, saat orang-orang dari berbagai suku bangsa mewujudkan dunia baru yang adil, damai, bebas, dan mengakui kekuatan yang mahakuasa.  
Para Ksatria Pelangi akan menunjukkan kebiasaan-kebiasaan yang penuh cinta dan pengertian, dan mengajarkan bagaimana membuat Elohi menjadi indah kembali. Mereka akan memberikan petunjuk bagi setiap orang agar melakukan sesuatu di jalan yang benar, prinsip-prinsip yang dulu dilakukan suku-suku bangsa kuno. Para pendekar juga akan mengajarkan orang kebiasaan-kebiasaan leluhur untuk menciptakan kebersamaan, cinta, dan pengertian serta keselarasan di antara sesama.
Ramalan di atas disampaikan seorang wanita tua dari suku Indian Cree bernama "Mata Api". Pesan spiritual yang terkandung di dalamnya memang menyebut kehancuran Bumi karena ulah Yo-ne-gis yang dikaitkan dengan masuknya bangsa kulit putih ke benua Amerika. Namun, dalam konteks global, kerusakan di muka Bumi tampak jelas di depan mata akibat ulah manusia yang serakah.
Lihatlah bagaimana revolusi industri yang jor-joran telah memicu peningkatan kadar gas beracun di atmosfer dari tahun ke tahun. Demi keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran sekecil-kecilnya, limbah pabrik tidak diolah sebagaimana mestinya sehingga menjadi racun bagi makhluk-makhluk hidup di darat dan perairan. Wilayah hutan hujan tropis yang menjadi paru-paru dunia terus menyusut karena ulah pembalakan liar dan mengabaikan konservasi lingkungan. 
Ramalan Indian yang telah berumur ratusan tahun itu pun mulai nampak jelas menjadi kenyataan. Telah terlihat kerusakan di darat dan di laut karena ulah manusia. Jika dibiarkan, setahap demi setahap akan musnahlah seluruh kehidupan di muka Bumi kecuali Para Pendekar Pelangi benar-benar muncul.





Daftar Pustaka
 Hel, David dan Antthony Mcgrew. 2003. The Global Transformation Reader. UK: PolIty Press
Cantor, Robert D. 1986. Contempory International Politic. West Publishing Company
Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Wibowo, I. 2003. Globalisasi, Kapitalisme Global, dan Matinya Demokrasi. Dalam Bre Redana, JB Christanto, Nirwan Ahmad Arsuka (ed), Bentara-Esei-esei 2003. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Marcos, Subcomandate Insurgante. 2003. Bayang Tak Berwajah: Dokumen Perlawanan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista 1994-1996. Yogyakarta: Insist Press



[1] Lihat ”Kisah Greenpeace”, Koran Bekasi Online, 3April 2008.
[2] Ibid.