Greenpeace:
Sebuah Upaya Melampaui Kosmopolitanisme Politik
"
Satu-satunya yang pantas menjadi global adalah perlawanan,..”
(Arundhati Roy)
“Akan tiba suatu masa, dimana ikan-ikan mati
di dalam air, burung-burung jatuh dari udara, air menghitam, dan pohon-pohon
tidak lagi ada. Umat manusia yang tersisa nyaris binasa. Lalu akan ada suatu
masa, saat para pemelihara legenda, sejarah, ritual budaya, dan mitos serta
kebiasaan suku-suku purba diperlukan untuk memulihkannya. Mereka itulah yang
akan menjadi penentu kelangsungan hidup umat manusia. Mereka adalah Para
Ksatria Pelangi (Rainbow Warriors)."
(Ramalan tua
suku Indian Cree)
***
Prolog
Saat berdiri pada tahun 1971, Greenpeace
tak lebih dari sekelompok acak pemuda yang menentang uji coba nuklir yang
diadakan di Amchitka, laut lepas Alaska. Aksi mereka saat itu memang gagal
karena uji coba nuklir tetap berlansung. Ketika posisi mereka masih sangat jauh
dari lokasi uji coba, sekitar 1.100 km, Badan Tenaga Atom Amerika (AEC)
mengeluarkan perintah untuk melepaskan bom nukir, pada tanggal 6 November 1971.
Namun, aksi mereka telah memicu gelombang protes di
Amerika dan Kanada. Ribuan orang turun ke jalan mendukung aksi Greenpeace
menolak uji coba senjata nuklir. Akhirnya pemerintah Amerika mengumumkan
tidak akan melakukan uji coba senjata nuklir di perairan alaska ‘karena alasan
politis dan alasan lainnya’.[1]
Melihat kesamaan visi tentang
penyelamatan bumi dan kehidupan manusia, sekolompok pemuda tadi pun memutuskan
untuk meneruskan Greenpeace sebagai organisasi yang bergerak dalam isu-isu
lingkungan.
Sejak didirikan, telah banyak sepak
terjangnya dalam memperjuangkan lingkungan agar menjadi lebih baik. Para
aktifisnya selalu menggunakan cara-cara yang inovatif dalam menarik perhatian
publik. Lihat saja bagaimana mereka menggergaji pintu kantor Perdana
Menteri Inggris, walau hanya sekian detik, untuk menyampaikan seruan perlunya
melindungi kayu dari hutan-hutan tropi.
Pelan tapi pasti ide-ide mereka menyebar
ke seluruh dunia. Saat ini Greenpeace telah tersebar di 44 negara (data 2007).
Atas sepak terjang Greenpeace ini berbagai tafsir dan konseptualisasi diajukan.
[2]
Mendelegitimasi Pencerahan
Modernitas
yang ditandai dengan pencapaian subyektivitas menempatkan manusia berdiri
sejajar di atas permukaan bumi atau kosmos. Sebuah kosmos, sejak Yunani Kuno,
berarti keseluruhan tatanan yang diatur dengan prinsip-prinsip dan hukum-hukum
tertentu. Kant mengapresiasi pengertian kosmos ini dalam konteks etis maupun
politis: kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme
berarti kepemilikan bersama atas permukaan bumi berdasarkan prinsip-prinsip
imperatif universal. Konsep Immanuel Kant mengenai kosmopolitanisme menjadi
titik tolak Habermas dan Derrida dalam rangka kritiknya terhadap institusi
maupun konstitusi politik warisan Pencerahan yang dianggap oleh keduanya gagal
menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia. Rangkaian tragedi kemanusiaan yang
mewarnai abad XX seperti dua Perang Dunia, Nazisme, Stalinisme, dan Rasisme
mendesak kita menggagas ulang makna konsep-konsep yang lahir dari rahim
Pencerahan. Elemen traumatis yang ditinggalkan oleh semua tragedi kemanusiaan
abad ini, terutama peristiwa teror, adalah akibat negatif atau krisis
Pencerahan yang sudah klasik dan tak lagi memadai.
Derrida
dan Habermas bergerak dalam lintasan wacana Pencerahan tentang toleransi,
keadilan, dan tanggung jawab, lalu mencoba menempatkan kembali wacana ini dalam
konteks demokrasi radikal, yaitu suatu politik universal melampaui
kosmopolitanisme sebagaimana yang pernah ditegaskan oleh Kant. Derrida dan
Habermas sepakat bahwa toleransi memiliki asal-usul keagamaan yang kemudian
diapresiasi oleh politik sekuler sehingga tak heran bila toleransi sering
dipraktikkan dalam semangat paternalistik, bahkan berat sebelah. Toleransi
diandaikan berlangsung dalam payung otoritas politik yang dominan atas yang lain,
minoritas.
Dalam
pandangan Habermas, pola toleransi yang berat sebelah dapat dinetralkan jika
toleransi dipraktikkan dalam konteks sebuah sistem politik yang partisipatoris
sebagaimana disediakan oleh demokrasi deliberatif. Toleransi mengandaikan sikap
warga negara terhadap yang lainnya berdasarkan hak dan kewajiban yang sama
sehingga tidak ada ruang bagi otoritas tertentu yang diperbolehkan secara
sepihak menentukan batas-batas, apa yang dapat ditoleransi dan apa yang tidak.
Sebagai konsekuensinya, keadilan dan tanggung jawab niscaya diletakkan dalam
konteks yang sama.
Habermas
menekankan pentingnya toleransi dan konsensus rasional dalam masyarakat
demokratis atau global. Toleransi harus dipandang secara positif baik etis
maupun politis. Ia dipandang secara etis karena mengandaikan kebenaran dari
yang lain. Ia dipandang secara politis karena mampu membentuk konsensus
rasional. Pemihakan ini adalah turunan dari gagasan Habermas mengenai demokrasi
konstitusional sebagai satu-satunya sistem yang dapat mengakomodasi komunikasi
bebas dominasi dalam rangka pembentukan konsensus rasional.
Argumentasi
ini bertolak dari kekeliruan dalam mendasarkan identitas suatu negara-bangsa
pada tradisi hukum klasik. Satu-satunya artikulasi yang sah tentang identitas
suatu bangsa, dengan atau tanpa masa lalu, ialah patriotisme konstitusional di
mana kesetiaan pada konstitusi merupakan bentuk partisipasi seluruh warga
negara berdasarkan konsensus. Kesetiaan pada konstitusi ini mengungkapkan pula
loyalitas kepada hak- hak keadilan dan tanggung jawab universal, terutama dalam
masyarakat yang kompleks dan multikultural.
Sebaliknya,
Derrida menganggap toleransi masih mengandung kekuasaan dalam arti tertentu
terhadap yang lain. Karena toleransi masih mensyaratkan kesesuaian dengan hukum-
hukum yang berlaku dalam teritori tertentu, dalam arti ini toleransi merupakan
metafor mengenai kekuasaan atas yang lain. Derrida melawankan konsep toleransi
dengan kesanggrahan (hospitality), sebuah terminologi yang bertolak dari Kant,
tetapi berbeda dari pemahaman Kant yang masih menempatkan kesanggrahan sebagai
tuntutan imperatif moral. Melalui kesanggrahan, Derrida memperkenalkan
pendekatan baru dalam etika dan politik, yaitu kewajiban unik seseorang
terhadap yang lain berupa kemurahan hati dan membuka diri dalam pembentukan
konsensus yang berlangsung secara terus-menerus tanpa akhir. Melalui
kesanggrahan ini keunikan dan perbedaan masing-masing dapat dihargai. Ia
membagi kesanggrahan ini dalam dua pola.
Pertama,
toleransi bersyarat yaitu hak invitasi. Sebagai hak invitasi, kesanggrahan
menjadi syarat bagi kemungkinan konvensi-konvensi internasional. Toleransi
bersyarat inilah yang mendominasi sistem hukum klasik. Kedua, toleransi tak
bersyarat yaitu hak visitasi. Sebagai hak visitasi, kesanggrahan memungkinkan
teritori dalam risiko maksimal sebab ia tidak memiliki pertahanan sistematis
dalam dirinya, kesanggrahan tidak memiliki status khusus secara politis maupun
hukum. Dari sudut pandang kesanggrahan tak bersyarat atau hak visitasi ini
dapat diperoleh suatu perspektif kritis atas batas-batas hak kosmopolitan dalam
pengertian Kant. Hak kosmopolitan ini mensyaratkan seluruh tindakan harus
sesuai dengan hukum yang berlaku hingga dalam arti tertentu sangat totaliter.
Kosmopolitanisme
ala Kant yang masih mengandaikan kesesuaian tindakan dengan hukum inilah yang
hendak dihindari oleh Derrida dengan mengajukan pengertian baru pada konsep
tentang keadilan sebagai sesuatu yang melampaui hukum. Sebab kalau tidak,
keadilan akan tereduksikan hanya kepada dapat dilaksanakannya hukum
(positivisme). Sebagai produk sosial dan politik, hukum bersifat terbatas,
relatif, dan tidak pernah imun dari hukum sejarah. Keadilan selalu berada di
luar dan di dalam hukum sekaligus, demikian Derrida. Keadilan berada di batas
tegangan antara keduanya. Asumsi ini sekaligus menegaskan perbedaan antara
hukum dan keadilan; hukum bersifat universal, sementara keadilan bersifat
khusus.
Jika
wilayah hukum mengandaikan ciri-ciri umum yang terkandung dalam aturan, norma,
dan hal ihwal yang imperatif universal sehingga sering jatuh pada
totalitarianisme dalam praktiknya; sebaliknya, keadilan menyangkut individu,
keunikan hidup, dan situasi khas manusia. Hukum selalu beroperasi di dalam
domain kepastian, dapat dikalkulasi dan diprediksi. Sementara itu, keadilan
memperhitungkan apa yang tidak mungkin dikalkulasi dan memutuskan apa yang
tidak mungkin dapat diputuskan. Dengan kata lain, keadilan mengandaikan
pengalaman aporia dan khas dari seseorang. Keadilan tidak semata- mata mengacu
pada hukum, tetapi juga melampaui hukum. Keadilan selalu berada dalam lingkaran
negosiasi sosial dan pertimbangan politis terus-menerus sampai menjumpai
batas-batasnya sendiri.
Globalisasi dan otoimun
Berbeda
dengan Habermas yang percaya globalisasi merupakan keniscayaan sejarah, Derrida
menampik gagasan tersebut karena globalisasi tak pernah mengambil tempat di
dalam sejarah. Globalisasi tak pernah terjadi, yang terjadi adalah mondialisasi
seluruh tatanan masyarakat dunia. Globalisasi tak lebih sebagai kelicikan
retoris yang bertujuan menyembunyikan ketidakadilan. Globalisasi hanya
merayakan kepentingan kelompok-kelompok tertentu dengan memanfaatkan kemajuan
tekno-sains.
Globalisasi
hanya merupakan delusi, suatu alat tipu daya untuk menyembunyikan
ketidakseimbangan yang muncul, suatu kegelapan baru, suatu kesembronoan
komunikasi lewat media, suatu penguasaan menyeluruh sarana produksi, teknologi,
dan militer oleh segelintir negara atau korporasi internasional untuk mereka
kangkangi sendiri. Dengan demikian, globalisasi telah menunjukkan kekuatan
imunitas maupun otoimunitasnya sendiri.
Otoimunitas
merupakan kata kunci gagasan Derrida untuk memahami sepak terjang Greenpeace sebagai konsekuensi dari globalisasi atau
mondialisasi. Otoimunitas adalah sebuah kondisi otoimunisasi yang selanjutnya
menghancurkan proteksinya sendiri. Dilihat dari konteks lahirnya Greenpeace,
otoimunitas ini dapat dilihat melalui beberapa momentum peristiwa
Yaitu globalisasi
atau mondialisasi telah menciptakan penderitaan yang belum pernah ada presedennya
dalam sejarah: kerusakan lingkungan. Cerita globalisasi ekonomi bermula dari krisis ekonomi di
awal 1970-an. Seperti yang diperkirakan, Fordisme dan kebijakan Keynesian
melewati masa emasnya, berubah menjadi inflasi, penumpukan produksi,
pengangguran dan menurunnya investasi di negara-negara berkembang
Di saat bersamaan, kubu konservatif melalui Thatcher di Inggris dan Reagan
di Amerika berhasil menguasai pemerintah. Menjawab krisis yang sedang menganga,
keduanya mengampanyekan bringing the market back in. Fordisme digantikan
sistem produksi (yang kemudian disebut) Post-Fordisme yang lebih menekankan
fleksibilitas, economies of scope, sistematisasi produksi dan sistem kerja
self-employment. Kebijakan Keynesian disingkirkan oleh model ekonomi
neo-liberal yang anti-intervensi negara, proderegulasi dan menghendaki
perdagangan bebas. Selanjutnya, Post-Fordisme dan ekonomi neo-liberal dibakukan
dalam "Washington Consensus" yang tak lain dari panduan
mengembangkan self-regulating market bagi seluruh negara di dunia. Panduan ini
berisi kebijakan-kebijakan semacam
menjamin disiplin fiskal, mengurangi belanja publik, reformasi pajak,
liberalisasi finansial, mendorong nilai tukar yang kompetitif, liberalisasi
perdagangan, melancarkan investasi asing, privatisasi perusahaannegara,
deregulasi ekonomi, dan perlindungan terhadap
property rights.
Kebijakan-kebijakan neo-liberal pada awalnya menyebar ke Eropa Barat dan
Jepang. Lalu, IMF dan World Bank mengekspor
"Washington Consensus" ke negara-negara berkembang, melalui structural adjustment
program.
Globalisasi ekonomi kemudian tanpa bisa dibendung menjelma menjadi ekspansi pasar bebas ke
seluruh dunia dan aspek kehidupan, melalui
pendalaman kapitalisasi dan komodifikasi di sektor perdagangan, produksi, dan
finansial
“Kemajuan” yang lahir akibat globalisasi
harus dibayar mahal. Setelah
berabad-abad diabaikan, lingkungan hidup (alam raya ini) baru disadari memiliki
kapasitas terbatas dalam memuaskan kebutuhan ummat manusia, sementara pemuasan
kebutuhan tersebut hampir semuanya melibatkan konversi lingkungan hidup.
Kebutuhan
akan pangan, misalnya, terkait dengan penyediaan akan lahan yang dari waktu ke
waktu terus bertambah. Kebutuhan akan perumahan mau tidak mau terkait dengan
persoalan penebangan kayu. Kebutuhan akan transportasi mengharuskan digenjotnya
kegiatan-kegiatan pertambangan, baik pertambangan bahan-bahan bakar maupun
logam pembuatan kendaraan.
Diketahuinya
batas kemampuan (carrying capacity)
ini, mau tidak mau, membuka lanskap politik baru. Potensi ketegangan politik
segera muncul di depan mata manakala pola pemuasan kebutuhan yang telah
terlembaga¾misalnya melalui industrialisasi dan konsumsi massal (mass consumption)¾berada dalam ancaman.
Negara-negara industri, yang tadinya
didudukkan sebagai idola karena mampu menyediakan sistem pensejahteraan
manusia, tiba-tiba berubah status menjadi “tersangka” karena telah memimpin
proses global yang mengkandaskan umat manusia
dalam jebakan krisis lingkungan. Masyarakat negara-negara industri maju yang
jumlahnya hanya mencapai sekitar 25 persen penduduk bumi, mengkonsumsi sekitar
75 supply energi global. 25 persen supply energi yang ada harus dikonsumsi
secara hemat oleh 75 persen sisa penduduk bumi ini.
Kondisi
ini diperburuk dengan buruknya komitmen negara maju pada perbaikan atas krisis
lingkungan yang diakibatkan oleh sepak terjang mereka. Padahal jika ada satu
atau beberapa fihak yang tidak bersedia bekerja sama, hal ini sama saja membawa
keseluruhan entitas yang ada tenggelam dalam krisis. Kalau bumi ini kita
ibaratkan sebagai sebuah kapal, lobang di dasar kapal yang terjadi akibat
kecerobohan satu atau beberapa penumpangnya akan menenggelamkan seluruh kapal
tersebut.
Pada titik ini, Greenpeace muncul sebagai
“institutionalisme” solidaritas masyarakat global yang bergerak untuk menekan
pihak-pihak yang tidak memilki komitmen tersebut serta menghentikan kejahatan
lingkungan yang telah dilakukan mereka. Mereka bergerak ke mana saja tempat
terjadi krisis lingkungan.
Sebagai contoh untuk kasus di
Indonesia misalnya, Greenpeace Indonesia sendiri konsen di dua isu utama,
masalah hutan dan climate & energy. Untuk melindungi hutan di
Indonesia, Greenpeace sudah memulainya sejak 2004 yang lalu. Waktu itu
Greenpeace menentang ilegal logging yang marak terjadi di hutan Kalimantan.
Metode gerakan Greenpeace selama ini dilakukan dengan cara protes terhadap
segala hal yang merusak lingkungan, mendukung program hijau pemerintah, serta
urun rembuk dalam problem solving yang harus dipilih oleh pemerintah
setempat.
Salah satu solusi yang ditawarkan Greenpeace terhadap pemerintah Indonesia
adalah penanaman kembali hutan yang rusak dan melakukan moratorium (penghentian
sementara penebangan pohon). Saat itu solusi yang ditawarkan Greenpeace
berkaitan dengan perusakan hutan Indonesia yang seakan tidak bisa dihentikan.
Greenpeace mencatat bahwa setiap jamnya hutan Indonesia seluas 30 kali luas
lapangan bola rusak. Indonesia sendiri adalah negara dengan pengrusakan hutan
tercepat dari 44 negara yang memiliki hutan.
Untuk isu climate & energy, Greenpeace menolak dengan keras
rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Jepara dan juga di
Sampang, Madura. Pasalnya, mereka beranggapan bahwa nuklir sangat berbahaya
bagi bumi dan kehidupan manusia. Ia memiliki radioaktif yang sangat berbahaya
bagi makhluk hidup karena bisa menyerang saraf. Apalagi radiasinya akan terus
bertahan hingga 241,000 tahun!
Saat pertemuan PBB tentang global warming di Bali, Greenpeace adalah
salah satu kelompok yang paling aktif dan atraktif dalam mengawal berjalannya
konferensi. Mereka membuat penghargaan kategori negara paling tidak ramah
lingkungan, paling parah pengrusakan hutannya, dll. Saat itu kapal hijau mereka
juga menjadi kapal yang tidak diperbolehkan berlabuh di Bali. Sehingga untuk
mencapai Bali, para aktivis Greenpeace harus menyewa perahu-perahu penduduk
setempat.
Pada akhirnya ketika kerusakan lingkungan bukannya berhenti tapi malah
semakin parah maka sama saja memberikan bahan bakar terhadap gerakan
Greenpeace. Dan gerakan ini, akan semakin meluas ke mana-mana.
Menuju demokrasi radikal
Di
hari-hari ini wacana demokrasi Barat, yang benih-benihnya telah disemaikan
sejak Liberalisme klasik, terbukti telah gagal mengakomodasi masyarakat yang
kompleks. Dalam masyarakat kompleks dewasa ini dibutuhkan satu demokrasi
radikal dengan merevisi kosmopolitanisme Kant, bahkan melampauinya. Habermas
memodifikasi konsep Kant tentang ruang publik secara substansial. Immanuel Kant
masih menganggap komunikasi terjadi dalam ruang publik soliter, sementara Habermas
menekankan komunikasi dalam ruang publik secara keseluruhan. Komunikasi tidak
bisa dijamin berlangsung dalam ruang publik soliter ala Kant karena praksis
kehidupan sehari- hari kita bertumpu pada suatu dasar yang kukuh, yaitu
kenyataan bahwa kita memiliki latar keyakinan, kebenaran, budaya, dan harapan
yang saling mengandaikan.
Alih-alih
mengafirmasi kosmopolitanisme Kant, Derrida meletakkan cita-cita demokrasi di
luar kosmopolitanisme atau kewarganegaraan dunia, melampaui kekuasaan tertinggi
politik, ekonomi, dan hukum. Derrida mengajukan suatu demokrasi radikal, yaitu
demokrasi mendatang: sebuah demokrasi yang belum eksis saat ini, tidak dapat
dipresentasikan, bukan ide regulatif dalam pengertian Kant. Namun, demokrasi
ini menyambut baik kemungkinan untuk digugat, untuk menggugat diri sendiri,
mengkritik dan ikhtiar untuk terus-menerus memperbaiki diri.
Demokrasi
Barat dalam arti ini merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus
sampai pada batas-batasnya sendiri. Derrida dan Habermas telah meretas jalan
dengan mengevaluasi secara menyeluruh prinsip-prinsip yang mendasari Pencerahan
Barat. Keduanya bertolak dari ikhtiar untuk menyegarkan kembali
kosmopolitanisme Kant.
Habermas
melihat Pencerahan sebagai masa lalu yang harus direkonstruksi pada konteks
hari ini, sementara Derrida secara radikal mendesak Pencerahan menuju
perbatasannya, suatu keterarahan kepada masa depan melalui manifestasinya yang
terkini. Pencerahan itu ada di masa depan, tetapi tidak dapat diprediksi dan
diidentifikasi. Ia merupakan proses yang tak pernah sudah.
Epilog
Akan tiba suatu masa, dimana ikan-ikan mati di
dalam air,, burung-burung jatuh dari udara, air menghitam, dan pohon-pohon
tidak lagi ada. Umat manusia yang tersisa nyaris binasa. Lalu akan ada suatu
masa, saat para pemelihara legenda, sejarah, ritual budaya, dan mitos serta
kebiasaan suku-suku purba diperlukan untuk memulihkannya. Mereka itulah yang
akan menjadi penentu kelangsungan hidup umat manusia. Mereka adalah Para
Ksatria Pelangi (Rainbow Warriors)."
Para Ksatria Pelangi akan menunjukkan betapa
sakitnya Bumi karena manusia di dunia telah mengabaikan Sang Mahakuasa (Great
Spirit). Mereka akan mengajarkan bagaimana hidup sesuai panduan Sang
Mahakuasa. Mereka akan menyebarkan pesan kedamaian dan mengajarkan semua orang
tentang Elohi atau Bumi. Akan tiba hari, saat orang-orang dari berbagai suku
bangsa mewujudkan dunia baru yang adil, damai, bebas, dan mengakui kekuatan
yang mahakuasa.
Para Ksatria Pelangi akan menunjukkan
kebiasaan-kebiasaan yang penuh cinta dan pengertian, dan mengajarkan bagaimana
membuat Elohi menjadi indah kembali. Mereka akan memberikan petunjuk bagi
setiap orang agar melakukan sesuatu di jalan yang benar, prinsip-prinsip yang
dulu dilakukan suku-suku bangsa kuno. Para pendekar juga akan mengajarkan
orang kebiasaan-kebiasaan leluhur untuk menciptakan kebersamaan, cinta, dan
pengertian serta keselarasan di antara sesama.
Ramalan di atas disampaikan seorang wanita tua
dari suku Indian Cree bernama "Mata Api". Pesan spiritual yang terkandung
di dalamnya memang menyebut kehancuran Bumi karena ulah Yo-ne-gis yang
dikaitkan dengan masuknya bangsa kulit putih ke benua Amerika. Namun, dalam
konteks global, kerusakan di muka Bumi tampak jelas di depan mata akibat ulah
manusia yang serakah.
Lihatlah bagaimana revolusi industri yang
jor-joran telah memicu peningkatan kadar gas beracun di atmosfer dari tahun ke
tahun. Demi keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran sekecil-kecilnya,
limbah pabrik tidak diolah sebagaimana mestinya sehingga menjadi racun bagi
makhluk-makhluk hidup di darat dan perairan. Wilayah hutan hujan tropis yang
menjadi paru-paru dunia terus menyusut karena ulah pembalakan liar dan
mengabaikan konservasi lingkungan.
Ramalan Indian yang telah berumur ratusan tahun
itu pun mulai nampak jelas menjadi kenyataan. Telah terlihat kerusakan di darat
dan di laut karena ulah manusia. Jika dibiarkan, setahap demi setahap akan
musnahlah seluruh kehidupan di muka Bumi kecuali Para Pendekar Pelangi
benar-benar muncul.
Daftar Pustaka
Hel, David dan
Antthony Mcgrew. 2003. The Global Transformation Reader. UK: PolIty
Press
Cantor, Robert D. 1986. Contempory International
Politic. West Publishing Company
Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat
Komunikatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Wibowo, I. 2003. Globalisasi, Kapitalisme Global,
dan Matinya Demokrasi. Dalam Bre Redana, JB Christanto, Nirwan Ahmad Arsuka
(ed), Bentara-Esei-esei 2003. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Marcos, Subcomandate Insurgante. 2003. Bayang Tak
Berwajah: Dokumen Perlawanan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista 1994-1996.
Yogyakarta: Insist Press